pandemi mulai berlangsung, semua Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) didorong masuk ke platform digital oleh pemerintah. Alhasil, sejak dua tahun lalu, jumlah usaha yang on-boarding secara digital sudah melebihi 17 juta. Bandingkan dengan jumlah tujuh juta ketika sebelum musim Covid-19. Itu berarti pandemi mendorong pertumbuhan digitalisasi UMKM hampir dua kali lipat.
Memanfaatkan teknologi digital bagi UMKM kita menjadi penting dikarenakan banyak hal. Salah satunya, jangan sampai keunggulan infrastruktur digital kita dimanfaatkan menjadi pasar oleh produk negara lain.
Di awal tahun 2021 sempat viral isu mengenai Mr. Hu dan betapa mudahnya impor produk crossborder dari Tiongkok. Walaupun akhirnya produk crossborder-trading berhasil dibatasi oleh Kementerian Koperasi dan UMKM, tetapi ada pelajaran penting yang bisa diambil. Masih ada celah yang bisa dilakukan produk luar negeri untuk bisa masuk ke negara kita dan mengambil alih pasar domestik.
Jadi, selain untuk menangkis serbuan produk dari luar negeri, penggunaan teknologi digital bagi UMKM juga berarti meningkatkan daya saing dan daya jelajah pemasaran.
Daya saing meningkat dikarenakan supply-chain yang memungkinkan untuk diperpendek dengan memangkas middleman. Sementara daya jelajah pemasaran bisa diperluas, bahkan sampai dengan tingkat regional ASEAN untuk ekspor. Semua bisa dilakukan UMKM sendiri dengan mudah.
Pandemi memang mengakselerasi digitalisasi, tetapi ada beberapa catatan yang tidak bisa dihindari.
Pertama, kenyataan bahwa UMKM kita tak berada dalam level yang sama mengenai literasi digital. Kluster pemahaman tentang berbagai platform digital sangat jomplang dan terbagi-bagi. Ini dikarenakan juga pertumbuhan jumlah usaha level mikro yang sangat besar dan cepat.
Gambarannya begini, ada UMKM yang sudah siap untuk masuk ke marketplace yang ada, ini kebanyakan yang dikelola oleh anak muda dan orang tua progresif. Di sisi lain, banyak juga UMKM yang masih harus diajari untuk memakai aplikasi komunikasi yang paling dasar sekalipun.
Ketimpangan ini memaksa program onboarding yang ada untuk lebih memperhatikan subjeknya, dan tidak dipukul rata dengan materi yang sama.
Kedua, ketika jumlah UMKM yang terdigitalisasi semakin masif, ada persoalan logistik yang harus dipecahkan. Negara kita yang sangat luas memaksa setiap pebisnis untuk mengeluarkan ongkos logistik yang mahal. Bagi UMKM, ini berarti biaya ongkos kirim (ongkir) produk ke pelanggannya yang terkadang melampaui harga barang yang dibeli.
Berbeda dengan UMKM yang domisili di Pulau Jawa, bagi UMKM yang berada di luar Pulau Jawa, ongkos kirim ini menjadi permasalahan besar. Seperti yang kita tahu, konsumen Indonesia sangat peduli dengan total biaya yang dikeluarkan untuk membeli, termasuk juga yang dibeli secara daring.
Yang ketiga, permasalahan perizinan. UMKM yang siap melayani pasar nasional, tentu saja harus mempersiapkan diri dengan baik. Salah satunya harus dipenuhi berbagai macam perizinan, baik yang menyangkut produk maupun izin edar.
Banyaknya UMKM yang mengajukan izin ke berbagai lembaga perizinan, tak dibarengi dengan sosialisasi yang memadai. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan simpul mati dan penumpukan yang berujung kepada UMKM susah mendapatkan izin. Banyak UMKM yang nekat tetap memasarkan produknya dengan perizinan yang kurang, kemudian menjadi viral ketika ditangkap yang berwajib.
Ketiga fakta ini harusnya menjadi landasan ketika mengembangkan program digitalisasi UKMM di setiap daerah di Indonesia. Setiap daerah unik dan mempunyai permasalahan yang berbeda yang harus dipecahkan. Tetapi, apabila tiga tantangan di atas berhasil dituntaskan, onboarding digital akan menjadi keharusan mandiri bagi setiap UMKM. Bukan lagi menjadi paksaan.
Sumber : https://umkm.kompas.com/read/2022/01/24/132943883/tantangan-digitalisasi-umkm-pasca-pandemi-covid-19
0 comments:
Post a Comment