Nilai Personal dan Identitas Kuat Jadi Prinsip Utama Pelaku UMKM
"Atas nama pasar semuanya begitu banal". Begitulah penggalan lirik lagu
“Cinta Melulu” milik indie rock asal Jakarta, Efek Rumah Kaca (ERK).
Pada
lagu tersebut, sang vokalis, Cholil Mahmud, dan rekannya menuangkan
keresahannya terhadap industri musik Indonesia yang kala itu ia nilai
monoton, krisis identitas, dan minim kreativitas.
Menurutnya,
warna industri musik Tanah Air terlalu seragam lantaran banyak musisi
secara terus-menerus mengangkat tema percintaan pada karyanya.
Kritik
tersebut memang ada benarnya. Pasalnya, di tengah keseragaman produk
industri, inovasi dan diferensiasi bisa saja menjadi sebuah terobosan
baru yang tak kalah bermanfaat.
Setidaknya, hal tersebut dapat
dibuktikan oleh ERK dan beberapa musisi di skena independen lain. Karya
mereka sukses diterima dengan baik oleh penggemar musik Tanah Air.
Namun,
menyesuaikan diri terhadap keinginan pasar juga bukan hal yang salah.
Hal ini penting dilakukan agar hasil karya dan kreativitas di bidang apa
pun mampu bersaing di tengah kerasnya industri.
Menanggapi hal
tersebut, ERK kembali menjawabnya dalam sebuah mahakarya yang merupakan
hasil elaborasi dari lagu “Cinta Melulu”, yaitu “Pasar Bisa Diciptakan”.
Dalam
lagu tersebut, ERK tak menampik akan iklim pasar yang mustahil dilawan
begitu saja. Meski begitu, bukan berarti masyarakat harus tunduk dan
berhenti berinovasi.
Punya identitas
Pada dasarnya, isu
yang diangkat ERK dalam lagunya tidak berlebihan. ERK ingin menyampaikan
bahwa pelaku industri semestinya menghasilkan produk yang berkualitas
dan tak sekadar remah-remah.
Sebab, tiap bidang usaha atau karya
harus punya kelebihan untuk menarik perhatian masyarakat. Terpenting,
produk tersebut punya identitas atau jati diri dan substansi yang kuat.
Rupanya, hal tersebut yang dicoba dilakukan oleh seorang pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Singgih Susilo Kartono.
Di tengah tren bersepeda saat ini, Singgih berani membuat produk sepeda yang tak lazim berbahan dasar bambu bernama Spedagi.
Ide
tersebut muncul dari kegelisahannya. Sebagai praktisi desain produk,
Singgih merasa gemas lantaran di tempat tinggalnya di Desa Kandangan,
Temanggung, Jawa Tengah, banyak pohon bambu liar yang tidak
dimanfaatkan.
“Saya melihat di internet, produsen sepeda bambu
itu kebanyakan berasal dari negara yang justru tidak memiliki bambu. Ini
menampar sekali buat saya. Dari situ, saya mulai mengembangkan produk
Spedagi,” ujar Singgih saat menerima kunjungan dari aktivis brand Arto
Biantoro dan Mantri Bank Rakyat Indonesia (BRI) Aulia Dyah.
Sebagai
informasi, kunjungan Arto dan Aulia ke workshop Spedagi merupakan
bagian dari program Petualangan Brilian The Series dari BRI.
Adapun Aulia merupakan perpanjangan tangan dari BRI yang membantu pelaku UMKM dalam mendapatkan modal usaha.
Tak
hanya itu, Mantri BRI juga turut andil dalam memberdayakan UMKM dan
ekonomi berbasis kerakyatan yang menjadi garda depan penjaga
perekonomian nasional.
Menurut Singgih, Spedagi juga merupakan
bentuk revitalisasi terhadap desanya. Ia ingin menunjukkan bahwa sumber
daya yang kerap dilupakan bisa jadi sesuatu yang berguna jika diolah
dengan tepat.
Untuk menghasilkan satu sepeda bambu, biasanya workshop Spedagi membutuhkan waktu sekitar enam hari.
“Ketika
digarap dengan serius pasti dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa.
Spedagi sudah membuktikan bahwa dengan lokalitas, kita bisa
menghasilkan orisinalitas. Bahkan, Spedagi merupakan sepeda pertama di
dunia yang berbahan dasar bambu petung,” kata Singgih.
Meski
begitu, Singgih tidak ingin menjadikan Spedagi miliknya sebagai produk
industri massal. Pasalnya, ia tidak ingin begitu saja mengikuti cara
pasar bekerja dengan meniru strategi dari kompetitornya.
“Jika
kami menyamai kompetitor, akhirnya branding yang dilakukan akan sama
dengan mereka. Saya ingin jadi diri sendiri. Maka dari itu, saya fokus
membangun jiwa brand sendiri sebagai identitas yang kuat,” jelas
Singgih.
Di sisi lain, Arto mengatakan, mengendarai produk Spedagi sama seperti mengendarai hasil karya seni.
“Spedagi
saat ini juga sudah menjadi sebuah ikon dari gerakan revitalisasi desa.
Sejatinya, setiap desa pasti punya banyak potensi. Spedagi sendiri
sudah menjadi sebuah gerakan yang dapat ditiru,” kata Arto.
Tak
jauh dari workshop Spedagi, terdapat pelaku UMKM lain yang menyadari
pentingnya nilai personal sebagai salah satu cara untuk membangun jati
diri ataupun identitas brand, yakni Eryanti.
Eriyanti memiliki
unit usaha di bidang kuliner bernama Eri Coffee. Usaha ini sebenarnya ia
teruskan dari ayahnya, Purwanto, yang merupakan petani kopi.
“Saya tertarik menjalankan bisnis ini karena prestasi yang bapak
dapatkan. Menurut saya, akan mubazir jika usaha ini tidak ada yang
melanjutkan. Jadi, sekarang bapak fokus di budidaya dan saya fokus di
pemasaran,” ujar Eri.
Dalam memasarkan produknya, tambah Eri, ia
selalu mengedepankan nilai personal yang menjadi identitas bisnisnya
tersebut. Menurutnya, nilai personal tersebut bisa menjadi jiwa dari
brand yang ia miliki.
Seperti diketahui, saat ini coffee shop merupakan salah satu bisnis yang cukup banyak dikerjakan oleh pelaku usaha.
Eri
menyadari, agar dapat bersaing dengan para kompetitor, kedai kopinya
harus memiliki sesuatu yang berbeda tanpa mengorbankan kualitas yang
ada.
“Cita rasa kopi itu kan dipengaruhi cara budidaya. Salah
satu cara yang kami lakukan terhadap produk kopi (milik) kami adalah
dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Selain itu, proses pengolahan
lainnya juga kami lakukan secara ketat agar selalu bisa menghasilkan
kopi terbaik,” tutur Eri.
Sebagai informasi, Petualangan Brilian
The Series merupakan miniseries yang mengangkat kisah-kisah inspiratif
dari pelaku UMKM di penjuru Tanah Air.
Sumber : https://biz.kompas.com/read/2021/07/31/144707628/nilai-personal-dan-identitas-kuat-jadi-prinsip-utama-pelaku-umkm
0 comments:
Post a Comment