Tuesday, July 20, 2021

Pimpin ICSB Global, Hermawan Coba Suarakan Isu UKM Lokal


JAKARTA, KOMPAS — Pendiri MarkPlus Inc, perusahaan riset, konsultan, pendidikan, dan media pemasaran, Hermawan Kartajaya, terpilih menjadi Incoming Chairman Dewan Internasional untuk Bisnis Kecil atau The International Council for Small Business/ICSB Global. Dia menggantikan Winslow Sargeant yang menjabat sebagai Chairman periode 2021-2022.

Hermawan akan mengemban jabatan itu sampai dia dilantik menjadi Chairman ICSB Global periode 2022-2023 pada Juli 2022 di Washington DC, Amerika Serikat. Melalui keanggotaan di ICSB Global, Hermawan akan mencoba mengangkat isu yang dialami pelaku usaha kecil dan menengah lokal yang membutuhkan solusi konkret untuk tumbuh dan berkembang.

ICSB Global berdiri sejak 1955 di Amerika Serikat. Organisasi ini menyatukan para pendidik, peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi dari seluruh dunia untuk berbagi pengetahuan dan keahlian di bidang masing-masing melalui publikasi, program, lokakarya, dan sesi pelatihan bagi pelaku UKM.

Ini merupakan yang pertama bagi Indonesia menduduki jabatan ketua. Hermawan sebelumnya aktif sebagai Board Member di ICSB Global. Di ICSB Indonesia, dia merupakan salah satu pendiri bersama Menteri Koperasi dan UKM periode 2014-2019 AAGN Puspayoga.

Saat dihubungi Senin (19/7/2021) sore, di Jakarta, Hermawan mengatakan akan memanfaatkan setahun waktu menjabat sebagai Incoming Chairman untuk mengaktifkan ICSB Indonesia yang baru tersebar di 15 menjadi 34 kota di ibu kota provinsi. Keberadaan cabang ICSB tersebut bisa membantu menyinergikan program untuk pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang masih ditangani berbagai macam kementerian/lembaga dan organisasi.

Pendiri UKM di Indonesia didominasi oleh perempuan. Namun, isu-isu yang dihadapi perempuan wirausaha jarang tertangani dengan optimal.

Di tingkat internasional, kewirausahan perempuan juga menjadi pembicaraan, tetapi sebatas berakhir di acara-acara simposium. Menurut Hermawan, dirinya akan membawa isu itu beserta rekomendasi pemecahannya ke ICSB World Congress tahun 2023 di Bali.

”Masalah yang dialami pelaku UKM di Tanah Air bermacam-macam. Kami memandang persoalan mendasar yang umum terjadi ialah kekurangan jiwa kewirausahaan sehingga ini berdampak ke persoalan lain, seperti upaya pencitraan merek dan pemasaran,” ujar Hermawan.

Dia lantas mencontohkan program UKM naik kelas yang belakangan marak didengungkan, baik dari sisi pemerintah maupun swasta. Cara yang sering disampaikan agar bisa naik kelas menjadi berskala besar adalah memakai platform daring untuk bertransaksi jual-beli.

Tidak semua pelaku UKM yang menjadi peserta program semacam itu sukses berjualan secara daring. Mereka yang gagal disebabkan oleh, antara lain, kurangnya strategi pencitraan merek, pemasaran, dan kualitas produk. Sementara lanskap perdagangan secara elektronik atau e-dagang cenderung tidak peduli terhadap tiga persoalan UKM itu. Apalagi, karakteristik pembeli barang di platform e-dagang juga mirip dan cenderung suka mencari diskon.

”UKM didorong naik kelas menggunakan pemasaran digital sehingga mereka bisa memperluas pangsa pasarnya ke internasional. Dorongan semacam itu sah-sah saja sepanjang UKM dibekali mental kewirausahaan yang kuat,” katanya.

Menurut Hermawan, ICSB Indonesia perlu memperkuat berjejaring dengan perguruan tinggi guna membantu pembekalan kewirausahaan UKM. Sejauh ini ICSB telah menandatangani nota kesepahaman dengan 12 perguruan tinggi di Jawa Tengah. Salah satunya adalah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Seremonial

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat, Suroto, saat dihubungi Selasa (20/7/2021), di Jakarta, berpendapat, selama ini pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) selalu menjadi obyek program pemberdayaan instansi pemerintah atau swasta. Kebanyakan program itu cenderung sebatas seremonial.

”Persoalan serius UMKM di Indonesia menyangkut regulasi dan kebijakan. Selama ini belum ada aksi kebijakan afirmatif yang konkret dari pemerintah,” katanya.

Suroto mencontohkan akses kredit. Program inklusi keuangan yang didorong melalui berbagai regulasi dan kebijakan oleh pemerintah tetap saja, yang banyak diuntungkan adalah bankir dan pembuat program.

Akses kredit perbankan belum mampu menjangkau UMKM secara optimal. Padahal, UMKM di Indonesia meliputi 64 juta pelaku usaha atau 99,8 persen dari total pengusaha. Realisasi penyaluran kredit untuk UMKM, yaitu dari total rasio kredit yang ada tahun 2020, untuk mereka hanya berkisar 3 persen.

Dengan demikian, tidak heran apabila sejumlah UMKM sampai hari ini umumnya masih menjadi korban dari rentenir yang mengenakan bunga kredit hingga 30 persen per bulan. Akibatnya, nilai tambah ekonomi mereka tersedot habis sehingga tidak mampu menciptakan dana cadangan untuk reinvestasi bagi pengembangan usaha.

Pemerintah selama ini juga diskriminatif terhadap lembaga keuangan nonbank yang dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk lembaga keuangan mikro, seperti koperasi.

Koperasi di Indonesia, misalnya, tidak didesain memiliki semacam lembaga penjaminan simpanan, tidak ada dana penempatan, dan talangan sehingga akan kesulitan likuiditas. Situasi itu berdampak pada kemampuan koperasi untuk melayani UMKM.

Selain isu akses permodalan, pemerintah melalui kementerian/lembaga yang mengurus teknis pendampingan UMKM, dinilai Suroto, tidak serius untuk membuat terobosan kebijakan program. Mereka cenderung membelanjakan anggaran untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan formal yang sering tidak sesuai kebutuhan UMKM.

”Padahal, kalau UMKM diberikan semacam kebijakan trade-off untuk mendukung pengembangan industri rumah tangga, pembentukan usaha patungan, dan insentif pajak akan langsung mampu mendorong peningkatan usaha mereka tanpa harus mengeluarkan banyak biaya,” ujar Suroto.

Sumber : https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/07/20/pimpin-icsb-global-hermawan-coba-suarakan-isu-ukm-lokal 

0 comments:

Post a Comment