Tuesday, January 25, 2022

Pemulihan Transformatif UMKM

 Pandemi Covid-19 kembali mengingatkan bangsa-bangsa di dunia bahwa tidak ada yang pasti, kecuali ketidakpastian itu sendiri. Refleksi ini juga berlaku kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Tanah Air agar lebih siap menghadapi pelbagai krisis dan perubahan lingkungan di masa depan.



Mari lihat kondisi UMKM sesaat sebelum pandemi. Sensus Ekonomi (2016 dan 2017) menunjukkan sebagian besar atau lebih dari 46 persen UMK bergerak di bidang perdagangan besar dan eceran. Lalu, masing-masing lebih dari 90 persen UMK non-pertanian belum menggunakan komputer dan internet. Bagaimana dengan daya saingnya? Laporan ITC dalam SME Competitiveness Outlook (2019) memberikan skor relatif rendah kepada Indonesia: hanya 28,5—untuk rentang penilaian 0 sampai 100.

Ada 4 indikator yang menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia di antara 85 negara lainnya, masing-masing dalam hal kepemilikan sertifikasi internasional, kepemilikan akun bank, pengelolaan laporan keuangan serta adaptasi teknologi. Kondisi serba minimalis tersebut turut menyebabkan UMKM terpuruk pada awal-awal pandemi.

Survei ADB (periode April – Mei 2020) dan Bank Dunia (Juni 2020) menemukan tidak kurang dari 50 persen UMKM di Indonesia menangguhkan usahanya, sebanyak 86 persen mengalami penurunan penjualan dan sekitar 73 persen mengalami masalah ketersediaan pasokan. Maka, pemulihan ekonomi UMKM nasional jauh lebih kompleks: tidak sekadar mengembalikannya pada kondisi awal sebelum pandemi, tetapi sekaligus menyiapkan pondasi pemulihan untuk mempercepat transformasi UMKM agar lebih adaptif dan berdaya saing ke depannya. Inilah nantinya disebut pemulihan transformatif.

Fondasi

Ada 5 fondasi adaptasi yang telah disiapkan pada 2020-2021. Pertama dan paling utama adalah fondasi kemudahan akses pembiayaan. Meski karakter dan kapasitas pelaku UMKM di Indonesia tidak seragam, namun Covid-19 memberikan dampak kepada seluruh pelaku usaha, tidak terkecuali sektor informal Usaha Mikro dan umumnya unbankable. Terhadap pelaku Usaha Mikro, sebagaimana telah diberikan di penghujung 2020, maka di 2021 juga disalurkan hibah produktif atau disebut Banpres Produktif Usaha Mikro kepada 12,8 juta pelaku dengan total anggaran Rp 15,36 triliun.

Selain untuk memperkuat aspek pembiayaan, BPUM juga dimaksudkan untuk mempercepat sistem pendataan pelaku Usaha Mikro dan meningkatkan literasi keuangan. Ke depan, pelaku usaha informal penerima BPUM diharapkan mulai mengenal skema pembiayaan formal dan terhindar dari jebakan pinjaman berbunga tinggi. Berbeda dengan pelaku Usaha Mikro, untuk segmen Usaha Kecil dan Menengah (bankable) diberikan fasilitas tambahan subsidi bunga KUR 3 persen.

Per 30 Desember 2021, stimulus ini telah diberikan kepada 7,5 juta pelaku UMKM dengan total pembiayaan Rp 278,75 triliun atau lebih dari 97 persen dari target Rp 285 triliun. Fasilitas keringanan bunga serupa juga diberikan kepada pelaku koperasi melalui Lembaga Pembiayaan Dana Bergulir. Realisasi per 31 Desember 2021 sebesar Rp 1,64 triliun atau 102,6 persen dari target Rp 1,6 triliun.

Fondasi kedua adalah digitalisasi dan perluasan pasar. Kolaborasi lintas Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, swasta, dan BUMN serta berbagai asosiasi dan perguruan tinggi telah memacu dengan sangat pesat partisipasi pelaku UMKM nasional di pasar digital. Jika awal 2020 atau sebelum pandemi hanya sekitar 8 juta pelaku UMKM masuk ke dalam ekosistem digital, maka per November 2021 angkanya sudah lebih dari 16,9 juta pelaku atau naik 111 persen.

Tidak saja jumlah pelakunya bertambah, transaksi UMKM di pasar online juga meningkat sebesar 26 persen. Terdapat 3,1 juta transaksi per hari serta kenaikan 35 persen pengiriman barang (McKinsey, 2021 dan Redseer, 2021). Perluasan akses pasar juga dilengkapi dengan kebijakan afirmasi 40 persen dari alokasi belanja pemerintah untuk membeli produk UMKM lokal. Per 27 Desember 2021 realisasinya telah mencapai Rp 350,50 triliun atau 79,2 persen dari target Rp 442,43 triliun.

Ketiga, fondasi kemitraan. Pada 2021, Kementerian Koperasi telah membangun kemitraan rantai pasok dengan 9 BUMN dan sejumlah perusahaan swasta. Strategi ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional lebih berkualitas ke depannya. Menguatnya daya saing industri nasional di pasal global harus sejalan dengan meningkatnya kapasitas usaha para pelaku UMKM di Tanah Air.

Keempat, fondasi pendataan. Berkaca dengan kondisi pada awal pandemi, pendataan UMKM memiliki tantangan tidak kalah besar. Namun saat ini, ketersediaannya sudah jauh lebih baik. Sebab, paralel dengan fasilitasi pelaku UMKM mendapatkan BPUM, NIB, KUR, digitalisasi ataupun layanan koperasi juga dilakukan proses pendataan UMKM.

Kelima, fondasi reformasi birokrasi melalui penyederhanaan kelembagaan Kementerian Koperasi dari sebelumnya 6 kedeputian menjadi hanya 4 kedeputian. Penugasan kepada 2 Badan Layanan Umum di Kementerian Koperasi dan UKM juga menjadi lebih spesifik. SMESCO fokus kurasi dan pengembangan UMKM berdaya saing global. Dan, LPDB ke pengembangan model bisnis koperasi dan sektor riil.

Transformatif

Berbeda dari temuan sejumlah lembaga (baca: ADB dan Bank Dunia) pada awal pandemi, UMKM Indonesia pada pengujung 2021 terlihat sudah lebih adaptif. Laporan BRI Research Institute terbaru menemukan UMKM cukup kuat bertahan dan memiliki risiliensi selama pandemi. Sejak Maret 2020 hingga September 2021 diketahui hanya 20 persen responden menyatakan usahanya pernah tutup beroperasi. Temuan BRI tidak jauh berbeda dengan laporan Shinozaki S. (Agustus, 2021) yang menggambarkan Usaha Mikro di Indonesia lebih cepat pulih, usaha kecil tertahan dan usaha menengah membaik.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut fondasi adaptasi UMKM Indonesia semakin kokoh 2 tahun terakhir, dan menjadi modal untuk masuk ke tahap pemulihan transformatif pada 2022. Peluangnya ada di anak muda dengan populasi mencapai lebih dari 64 persen penduduk (BPS, 2020). SMERU (2020) menyebut 73 persen anak muda Indonesia berminat berwirausaha. Selanjutnya, sekitar 64 persen pelaku UMKM adalah perempuan. Teraktual, masing-masing sebanyak 95 persen dan 90 persen UMKM tertarik dengan praktik usaha ramah lingkungan dan inklusif (UNDP, Indosat dan KemenkopUKM, 2021).

Perempuan, anak muda, dan ekonomi hijau akan menjadi penggerak ekonomi Indonesia di masa depan. Secara operasional, agenda pemulihan transformatif tahun ini diawali dengan memberikan afirmasi 70 persen program prioritas Kementerian Koperasi menyasar langsung ke pelaku UMKM dan koperasi: anak muda, perempuan, serta fokus mengembangkan usaha ramah lingkungan berbasis keunggulan lokal.

Kedua, secara bertahap menggeser fokus pembiayaan UMKM dan koperasi dari sebelumnya di sektor perdagangan ke sektor riil. Tujuannya agar dapat membuka lapangan pekerjaan lebih luas, memperkuat skala usaha petani, nelayan dan peternak perorangan melalui koperasi dan mewujudkan kemandirian pangan nasional.

Salah satu strateginya dengan mematok 40 persen pembiayaan LPDB untuk pengembangan koperasi sektor rill. Inisiatif ini diharapkan akan memacu konsolidasi pembiayaan perbankan dan non-perbankan ke dalam ekosistem UMKM produktif.

Pemulihan transformatif ketiga adalah memperluas keterlibatan UMKM ke dalam ekosistem digital. Pada 2022, sedikitnya 20 juta pelaku UMKM diproyeksikan sudah masuk ke dalam ekosistem digital. Modalitas tersebut akan memperkuat daya ungkit ekonomi UMKM dalam perekonomian nasional. Jika ketiganya berjalan pada 2022, maka UMKM dan koperasi Indonesia tidak saja pulih, tetapi sekaligus telah bertransformasi.

0 comments:

Post a Comment