Sunday, July 11, 2021

Teten Masduki: Koperasi Dibutuhkan Masyarakat


Koperasi merupakan saka guru perekonomian bangsa. Keberadaannya memiliki sejarah panjang. Tak sekadar membangun kemandirian, koperasi sejatinya dibangun dalam semangat kebersamaan antaranggota guna meraih kesejahteraan bersama.

Namun, tantangan koperasi tak ringan. Di tengah berbagai keberhasilan koperasi meningkatkan kesejahteraan anggota dengan membantu penjualan produksi dan menyediakan pinjaman, ditemui praktik kurang sehat yang dapat merugikan anggota. Dalam konteks itulah, bertepatan dengan peringatan ke-74 tahun koperasi Indonesia yang bertema ”Transformasi Digital Koperasi Menuju Bisnis Modern yang Kuat dan Bermartabat”, Kompas mewawancarai Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki secara virtual, di Jakarta, Kamis (8/7/2021). Berikut hasil wawancaranya.

Dari sejumlah persoalan koperasi, apa masalah-masalah krusialnya?

Harus diakui, jumlah koperasi di Indonesia terbanyak di dunia. Per Desember 2020, jumlahnya mencapai 127.124 unit. Asetnya Rp 221,931 miliar dengan jumlah anggota sekitar 25 juta orang. Sebesar 59 persennya, kebanyakan bergerak di bidang koperasi simpan pinjam (KSP).

Pembiayaan yang disalurkan koperasi bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah diperkirakan baru 6 persen dari total kredit perbankan atau sekitar Rp 67 triliun pembiayaan koperasi. Padahal, di tengah jumlah UMKM yang begitu besar, akses pembiayaan kepada koperasi menjadi sangat penting karena pelaku UMKM yang mencapai 99,6 persen dari total pelaku usaha. Tak semua UMKM bisa mengakses perbankan yang mengandalkan agunan.

Keberadaan KSP sangat membantu. KSP tumbuh subur dibandingkan koperasi produksi dan konsumsi. Hingga kini, mindset entrepreneurship (pola pikir kewirausahaan) koperasi belum seperti di negara maju.

Koperasi belum tumbuh menjadi pilihan rasional masyarakat Indonesia, kecuali di Nusa Tenggara Timur yang 54 persen penduduknya sudah menjadi anggota koperasi. Di sana, KSP sangat penting untuk membantu permodalan. Kemudian, di Kalimantan Barat, sekitar 20 persen penduduknya mengakses pembiayaan dari koperasi.

Kami sedang mendorong masyarakat untuk berkoperasi karena pesan Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, koperasi merupakan model yang membuat orang-orang menolong diri mereka sendiri. Koperasi menghimpun kekuatan modal dari orang-orang biasa sehingga dapat menghidupi diri dan keluarga mereka. Namun, koperasi masih dipandang urusan bisnis orang-orang susah dan pelaku usaha kecil. Pola pikir para pelaku usaha ini yang perlu diubah.

Dari sisi pemerintah, kita membuat ekosistem bagi tumbuh dan berkembangnya koperasi, seperti pendirian koperasi yang dipermudah. Rata-rata di dunia, pendirian koperasi cukup 3-5 orang, sedangkan di Indonesia dalam perundangan yang lama mesti 20 orang. Karena itu, dalam Undang-Undang Cipta Kerja, syarat pendirian koperasi hanya memerlukan sembilan orang.

Kedua, koperasi bisa masuk ke sektor apa saja. Saya sedang dorong, misalnya, dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bagaimana koperasi bisa masuk ke pembangunan infrastruktur. Banyak koperasi dengan kapital yang sangat besar mengalami kelebihan likuiditas. MOU (nota kesepahaman) akan diluncurkan bersama Kementerian PUPR.

Kami juga bekerja sama dengan Menteri Pertanian serta Menteri Kelautan dan Perikanan sesuai arahan Presiden Joko Widodo supaya koperasi masuk ke sektor-sektor pangan, dari tambak udang ataupun perkebunan/agrikultur. Di negara maju, sektor agrikultur dipegang oleh koperasi. Korporasi petani diarahkan dalam bentuk koperasi sebagai pilihan ideal.

Sampai kapan pun, di Indonesia, tidak mungkin ada pertanian skala besar (yang dimiliki petani), terutama di Jawa, karena kepemilikan lahannya sempit. Kami sedang membentuk beberapa tim kecil (pilot team) untuk mengorporasi petani sehingga mereka bergabung dalam koperasi.

Hal itu merupakan solusi karena pembiayaan perbankan lebih banyak masuk ke sektor perdagangan atau toko kelontong yang menjadi rantai perdagangan produk industri besar. Jumlahnya kecil yang masuk ke sektor produksi, seperti pangan, pertanian, dan peternakan. Sektor ini dianggap berisiko tinggi.

Kami melihat koperasi bisa menjadi salah satu solusi. Ketika membuat model bisnis di Muara Gembong, Bekasi, dengan mengonsolidasi petambak-petambak kecil, bank baru mau masuk. Jika koperasi menjadi pihak yang mengambil produk dari petani atau nelayan, bank lebih percaya karena produk mereka dibeli koperasi. Ada kepastian pasar, ada perputaran uang yang jelas. Koperasi saja yang berhadapan dengan pasar. Bukan orang per orang. Kalau petani berhadapan dengan pasar, biasanya nilai tawarnya sangat lemah.

Kita ingin mencontek model-model koperasi pangan di dunia, seperti koperasi susu terbesar di Selandia Baru. Peternak sapi tak perlu memikirkan cara menjual produknya. Mereka konsentrasi mengurus sapinya supaya produktif. Pembelinya ialah koperasi, sementara koperasi itu milik para peternak. Koperasi ini mengolah susu menjadi aneka macam produk dan menjualnya ke pasar. Model seperti ini belum ada di Indonesia. Kita baru bereksperimen di Lampung, dengan PT Great Giant Pineapple Tbk untuk perkebunan pisang dengan tujuan pasar ekspor.

Terkait KSP, sejumlah kasus muncul, mulai dari koperasi gagal bayar hingga rentenir yang mengatasnamakan koperasi. Persoalan-persoalan ini sedang dihadapi Kemenkop dan UKM. Namun, saya tak ingin mengatakan koperasi secara umum buruk. Justru koperasi dibutuhkan masyarakat untuk mengakses pembiayaan, baik untuk konsumsi maupun modal usaha. Koperasi jauh lebih ramah karena dimiliki oleh para anggotanya sendiri.

Ada koperasi yang menyimpang, kurang mematuhi regulasi, tak menjalankan rapat anggota tahunan (RAT), dan menginvestasikan modal anggota secara salah sehingga gagal bayar. Inilah yang kami periksa.

Kami sudah mengubah sistem pengawasannya. Pengawasan diperkuat karena banyak koperasi dengan kapital sangat besar, bahkan mencapai triliunan rupiah. Yang paling besar, Kospin Jasa, mencapai Rp 12 triliun.

Kami mengelompokkan koperasi seperti dengan pengawasan di perbankan. Misalnya, koperasi yang masuk ke buku satu dan dua dikategorikan koperasi yang masih tumbuh. Pengawasan lebih banyak diarahkan kepada pembinaan dan pendampingan. Koperasi berkategori buku tiga dan empat diawasi ketat luar biasa, terutama KSP dengan kantor cabang berada di mana-mana. Tenaga pengawasnya harus memiliki standar profesional tertentu yang diatur melalui Peraturan Menteri Koperasi dan UKM.

Masalah lainnya, koperasi kita masih rendah dalam penggunaan teknologi digital. Baru sekitar 0,7 persen. Hal ini sedang didorong dengan percepatan digitalisasi. KSP pun mendapatkan pesaing teknologi finansial (fintech) yang lebih mudah menyalurkan pembiayaan. Lambat laun, koperasi yang tak mau berubah akan ditinggalkan masyarakat.

Kami sedang mendorong koperasi supaya masuk ke digital (go digital) dalam pengelolaan bisnis, termasuk pelayanan pada anggotanya. Gagal pembukuan yang dianggap biasa tidak boleh terjadi lagi.

Secara sederhana, bagaimana mendeteksi koperasi yang menghimpun investasi secara tidak benar atau bahkan bodong?

Investasi bodong sebenarnya tak hanya terjadi di koperasi. Banyak korporasi juga menghimpun investasi bodong. Intinya, di tengah masyarakat dengan literasi bisnis keuangan rendah, berbagai penawaran investasi dengan penghasilan besar tidak dianalisis secara memadai.

Problem pertama, koperasi gagal bayar. Pendirinya kebanyakan pengusaha besar. Sejak ada pengaturan perbankan yang lebih ketat, asal-usul uang yang dimasukkan dalam skema pengawasan pencucian uang, sejumlah pengusaha besar melirik, masuk ke koperasi yang berfokus bisnis keuangan. Koperasi untuk menutup-nutupi (cover up). Motifnya bukan membangun ekonomi rakyat.

Orang seperti ini hanya melihat kelemahan aturan koperasi. Ironisnya, banyak warga menaruh simpanan di koperasi semacam itu dengan harapan mendapat bunga lebih besar daripada yang diberikan bank. Mereka bukan anggota koperasi sehingga tdak dilibatkan dalam rapat anggota tahunan. Intinya, ada aturan yang dilanggar.

Aturan paling tinggi dalam koperasi adalah RAT, yang di dalamnya, pengurus koperasi mengajukan persetujuan kepada anggota agar setiap rencana bisnis diutamakan untuk kebutuhan anggota. Hal ini merupakan problem demokrasi di internal koperasi. Karena itu, menurut kami, untuk mengetahui sehat atau tidaknya koperasi, dapat dilihat dari penyelenggaraan RAT.

Problem kedua, koperasi tidak memiliki lembaga penjaminan. Hal ini sempat diusulkan masuk ke Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi disepakati untuk diusulkan pada UU Koperasi. Tidak adil rasanya, mereka yang menyimpan uang di bank dilindungi, sedangkan orang kecil yang menyimpan di koperasi tak dilindungi, meski koperasi itu milik mereka sendiri.

Bisa juga, akibat keadaan ekonomi nasional atau global bermasalah, koperasi ikut tumbang mengalami masalah likuiditas. Ketika keadaan ekonomi lesu, banyak orang mengambil simpanan, koperasi mengalami kesulitan likuiditas. Karena itu, dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020-2021, kami mempunyai program membantu likuiditas koperasi dengan bunga tiga persen. Semula dikhawatirkan banyak koperasi kesulitan likuiditas. Ternyata, setelah diperkuat, tak ada koperasi lagi yang mengalami kesulitan.

Kemenkop dan UKM berhak membubarkan koperasi abal-abal?

Kita membubarkannya, walau pendiriannya berada di bawah kewenangan Kementerian Hukum dan HAM. Pada 2015-2020, ada 7.046 koperasi yang dibubarkan dan telah diumumkan di Berita Negara. Pada tahun 2021 yang masih berjalan, ada 1.181 koperasi yang dibubarkan. Jadi, totalnya ada 8.227 koperasi yang dibubarkan. Banyak juga koperasi yang mati suri.

Pembubaran dilakukan dengan pertimbangan koperasi itu sudah tak aktif, misalnya, tidak menggelar RAT berturut-turut dalam tiga tahun. Kemudian, koperasi ini tak melaksanakan kegiatan usaha berturut-turut selama dua tahun. Selain itu, hasil keputusan rapat anggota memutuskan pembubaran.

Dari begitu banyak koperasi yang terdata di Kemenkop dan UKM, bagaimana Kemenkop dan UKM menilai kecakapan pemahaman pengurus dalam mengelola koperasi?

Kami juga melakukan pembinaan. Dari sisi pengawasan, kami berpegang pada Permenkop dan UKM Nomor 9 Tahun 2020. Ini merupakan transformasi pengawasan koperasi berbasis potensi risiko dan kinerja. Kita juga ingin meningkatkan kualitas SDM pengawasan koperasinya. Satgas pengawasan di seluruh Indonesia diharapkan mampu mengurangi praktik ”koperasi bodong”.

Kami menurunkan pula tim pengawasan terpadu untuk menginvestigasi langsung ke koperasi. Standar lembaga pengawasan sudah dibuat oleh Kemenkop dan UKM.

Soal lemahnya literasi anggota koperasi, apa upaya yang dilakukan Kemenkop dan UKM?

Kebanyakan dari mereka yang tertipu merupakan orang luar dari keanggotaan koperasi. KSP mestinya hanya memberi pinjaman kepada anggota. Mereka tergiur keuntungan besar, tanpa mengeck segi bisnisnya.

Kami mengimbau masyarakat untuk mengidentifikasi secara mandiri atau melakukan konfirmasi melalui berbagai cara. Pertama, mengecek nomor badan hukum KSP di Kemenkumham, termasuk legalitas izin usahanya. Kedua, mengecek reputasi koperasi di dinas koperasi pemerintah daerah.

Banyak pihak yang mengaku koperasi, tetapi sebetulnya bukan benar-benar koperasi. Jika koperasi itu terkait dengan tekfin (fintech), bisa dicek melalui sistem Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jangan sungkan mengecek secara teliti.

Kami tidak cukup memadai untuk mengawasi setiap hari, tetapi terus mengedukasi masyarakat. Kami mendorong koperasi untuk melakukan upaya transparansi dan akuntabilitas. Yang jadi persoalan, banyak koperasi yang pengurusnya tak pernah diganti. Pengurus harus profesional, digaji, bukan menjadi orang yang mengambil keputusan dalam RAT. Inilah pentingnya pemilahan pemilik koperasi dan pengurusnya dengan manajemen profesional.

Memang sudah ada kesadaran sendiri, meski mereka ada di dalam kepengurusan, secara regular siap diganti. Bahayanya, kalau koperasi menjadi raja-raja kecil. Bukan demokrasi ekonomi, tetapi malah otoritarianisme ekonomi.

Saya pun melihat, oligarki juga ada di dalam koperasi. Koperasi hendaknya tak dipandang sebagai sesuatu yang suci. Penyimpangan selalu saja ada.

Bagaimana contoh sukses koperasi yang bisa membawa citra koperasi sebagai lembaga yang menyejahterakan anggotanya?

Indonesia memiliki banyak koperasi besar yang mendapat perhatian sangat luas. Koperasi sukses, misalnya, Koperasi Produsen Baaitul Qirodh Baburrayyan di Bener Meriah, Kabupaten Aceh Tengah. Koperasi ini menguasai ekspor kopi arabika ke pasar Amerika Serikat dan Eropa. Koperasi ini memiliki akses langsung penjualan kopinya ke Starbucks sekitar 345 ton. Koperasi lain di Aceh Tengah mempunyai akses penjualan kopi ke Swiss.

Selain itu, ada Koperasi Benteng Mikro Indonesia yang dalam waktu delapan tahun memiliki anggota hampir 300.000 orang. Wilayahnya di sekitar Tangerang, tetapi sekarang sudah masuk ke Bogor. Padahal, koperasi ini memulai dengan usaha simpan pinjam sebesar Rp 200.000.

Yang menarik, koperasi ini selalu mengumpulkan sedekah anggotanya masing-masing Rp 1.000 per orang, ternyata bisa memberikan hibah rumah siap huni. Sejak tahun 2015, ada 293 rumah yang diserahkan kepada anggota ataupun non-anggota. Inilah contoh, bagaimana orang-orang kecil menolong dirinya sendiri. Tidak harus mencari pinjaman kepada orang kaya.

Koperasi bukan kekuatan modal, melainkan kekuatan orang per orang. Ketika orang kecil bergabung menjadi kekuatan kapitalis besar, mereka bisa menggunakan bisnisnya, termasuk untuk menyelenggarakan program kegiatan sosial.

Di Kalimantan Barat, ada Koperasi Keling Kumang dan Koperasi Pancur Kasih. Aset mereka rata-rata Rp 1,5 triliun. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), ada Koperasi Obor Mas dan Koperasi Pintu Air. Yang paling tua ialah Koperasi Kospin Jasa, di Pekalongan, Jawa Tengah.

Kalau kita lihat koperasi besar di dunia, katakanlah sebanyak 300 koperasi besar, mereka justru tumbuh dan berkembang di negara-negara kapitalis. Saya ingin mengatakan, koperasi tak selalu berhubungan dengan ideologi. Namun, koperasi berkembang karena bisnis model kewirausahaannya maju.

Karena itu, kita juga akan dorong proses amalgamasi (penyatuan). Koperasi besar di dunia itu juga diakibatkan oleh merger. Koperasi dalam segala usahanya harus masuk dalam skala ekonomi. Kalau biaya manajemennya lebih besar daripada kegiatan usahanya, anggotanya tidak akan sejahtera.

Namun, hal ini masih sulit dilakukan karena, di Indonesia, koperasi lebih sering dimiliki sendiri-sendiri. Upaya menggabungkan koperasi pesantren di seluruh Jawa Barat, misalnya, tidak mudah. Padahal, untuk membangun kesejahteraan bersama dengan kekuatan orang dan bukan dengan kekuatan kapital, koperasi justru harus bergerak dalam skala besar keanggotaannya.

Jadi, tidak terus bergerak di sektor mikro, tetapi bergerak di sektor-sektor yang lebih produktif, entah masuk ke sektor pangan, industri, termasuk pembangunan infrastruktur. Sektor kelistrikan juga sangat bisa dimasuki oleh koperasi. Misalnya, pembangkit listrik mikrohidro di desa-desa terpencil di luar Jawa sebaiknya dibangun dalam usaha koperasi.

Listrik hasil biomassa dari bambu, misalnya. Bambunya ditanam rakyat, hasilnya dijual ke koperasi. Lalu, koperasi mengolahnya untuk menghasilkan listrik yang kemudian dijual kepada rakyat. Terjadi siklus ekonomi. Kesejahteraan tidak lari ke luar dari koperasi yang dapat dinikmati oleh anggota.

Saya sedang berbicara dengan menteri-menteri lain bahwa koperasi harus menjadi badan usaha yang diberikan kesempatan untuk masuk dalam pembangunan industri. Dengan Menteri Pertanian, saya sudah membahasnya. Kalau tidak dipikirkan konsolidasi badan usahanya, pertanian kita tak akan produktif dengan standar yang lebih stabil dan kontinyu. Gabungan kelompk tani (gapoktan) itu tidak berbadan hukum.

Karena itu, kami sedang membuat pilot team untuk koperasi pangan di padi. Skala 1.000 hektar dikelola oleh satu koperasi. Di Tanggamus, Lampung, petani-petani perseorangan dalam skala 400 hektar bergabung dalam koperasi. Produknya dibeli mitra perusahaan besar, Great Giant Pineapple, untuk diekspor.

Dengan Menteri Kelautan dan Perikanan, kita sedang mendorong pengembangan tambak udang rakyat.

Saya sedang mengajak 100 koperasi besar yang bermodal kuat untuk masuk ke usaha-usaha lebih besar. Tidak hanya mengurus pembiayaan mikro. Banyak kasus, koperasi Credit Union, misalnya, justru membatasi simpanan anggota karena kelebihan likuiditas. Hal ini terjadi karena koperasi tumbuh besar, sedangkan kegiatan usahanya stagnan sehingga beban bunganya tinggi. Akibatnya, koperasi ini membatasi simpanan.

Saya mendorong usaha mikro yang tergabung dalam koperasi simpan pinjam tidak dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Harus diatur oleh koperasinya. Misalnya, pedagang kelontong. Koperasinya bisa mengembangkan kegiatan usahanya untuk ritel. Jadi, para pedagang yang tergabung dalam KSP tidak lagi membeli barang dagangan sendiri yang biayanya mahal dan tidak bisa bersaing dengan ritel modern. Hal itu bisa diurus oleh koperasi.

Kemudian, saya mendorong koperasi yang berkapital besar masuk ke sektor produksi. Hal ini sudah dilakukan Koperasi Obor Mas dan Pintu Air di NTT dengan masuk ke sektor pangan. Misalnya, masuk ke agrikultur.

Dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang melahirkan PP Nomor 7 Tahun 2021, perhatian pemerintah dalam pengembangan koperasi sangat nyata. Sejauh ini, apa saja perubahan dan diarahkan untuk apa?

Pertama, kemudahan pendirian koperasi supaya bisa segera mengembangkan usaha dalam bentuk koperasi. Jangan dipersulit lagi, walaupun targetnya bukan untuk memperbanyak jumlah koperasi. Targetnya ialah jumlah keanggotaan koperasi.

Kedua, pemerintah ingin memberikan kesempatan masuk ke semua sektor, termasuk dalam koperasi syariah. Tidak ada lagi pembatasan. Kita ingin memperkuat juga dana bergulir untuk koperasi karena koperasi termasuk KSP bisa menjadi sarana bagi pemerintah untuk menyalurkan pembiayaan usaha mikro.

Harus diakui, untuk kredit usaha rakyat yang sampai Rp 100 juta, dalam praktiknya, pejabat bank di tingkat cabang masih menerapkan agunan. Koperasi bisa lebih ramah karena koperasi dapat mengawasi pinjamannya, termasuk memberikan literasi keuangan. Ha ini dapat menjadi solusi saat perbankan tidak mau masuk untuk membantu pembiayaannya.

Sumber : https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/07/12/menteri-koperasi-dan-usaha-kecil-menengah-teten-masduki 

0 comments:

Post a Comment