Wednesday, May 26, 2021
Bertahan Lewat Platform Digital, Ini Kisah UMKM Jualan di Tokopedia
Jakarta - Platform teknologi seperti e-commerce semakin masif digunakan pelaku usaha, termasuk sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) selama pandemi ini. Bahkan platform teknologi menjadi semacam 'senjata' UMKM untuk mempertahankan bisnis di tengah lesunya ekonomi masyarakat akibat pandemi.
Namun, penggunaan platform teknologi juga harus dibarengi dengan strategi pemasaran hingga inovasi yang baik dari pelaku usaha. Hal itu berkaca dari pengalaman bisnis Panna Coffee dan Revolt Industry dalam menghadapi pandemi. Kedua pemilik UMKM tersebut pun membagikan kisah mereka, sebagai berikut.
Bisnis Panna Coffee yang sudah berdiri selama lima tahun ini awalnya hanya bergerak dalam business to business (B2B) atau sebagai supplier biji kopi untuk coffee shop. Pemiliknya, Fritz Januar Ajie menceritakan Panna Coffee awalnya didirikan dengan konsep sebagai independent roastery yang tidak menjual kopi seduh secara langsung. Panna Coffee hanya ingin mengolah kopi dari petani dengan grade spesial.
"Kita mau showing ternyata kopi Indonesia itu sangat menarik ketika mengulik dan mau mencari dengan grade yang spesial. Itu yang pertama kali trigger kita sih. Kita termasuk pionir fokus pada showing kopi dengan grade yang paling bagus, waktu itu seperti itu," ujarnya kepada detikcom beberapa waktu lalu.
"Jadi kita berdiri sebagai supplier kafe juga, kalau ada yang datang kita bikinin itu gratis. Karena kita ga mau ada conflict of interest, kok kita suplai kopi, kok juga jualan minuman juga. Mereka sudah bantu beliin kopi kita, tapi di sisi lain mereka harus bersaing, dalam artian di industri yang sama. Makanya kita nggak mau jadi kafe, kita mau jadi roastery, kita eksplor kopi lah," imbuhnya.
Panna Coffee menerima kopi dari petani di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua, dan biasanya menerima 1,5-2 ton per bulan untuk di-roasting. Sebelum pandemi, biji kopi yang sudah di-roasting tersebut dijual untuk 50-60 coffee shop yang ada di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Palangkaraya, dan Palembang.
Namun pandemi ternyata juga menghantam bisnis Panna Coffee dan menyisakan 10% total omzet dari biasanya. Fritz menyebut akhirnya Panna Coffee mengalihkan strategi penjualan dan mulai masuk ke pasar ritel.
"Karena kita awalnya fokus suplainya kafe, begitu kena pandemi nggak ada yang ngafe, omzet itu 3-4 bulan tuh cuma 10% dari total omzet. Akhirnya saya bilang sama tim, karena kita fokus B2B, gimana kita fokus pasar ritel. Orang kalau nggak ngafe tapi kan tetap ngopi, pasti ngopi di rumah lah, kenapa ngga beralih ke sektor ritel," ujarnya.
"Dari awal pandemi kita gencar desain packaging baru, kemasan dikecilin, jadi harga lebih terjangkau, karena kan orang sekarang ga bisa spending sebesar dulu. Kita desain kemasan sehingga lebih menarik, kita kasih edukasi (bagaimana) menyeduh kopi di rumah, kita kasih resep mau bikin usaha sendiri di rumah, bikin kopi botolan di rumah, kita kasih resep gratis," imbuhnya.
Promo seperti free ongkir dari Tokopedia juga diakui Fritz cukup membantu penjualan dan pengiriman kopi Panna Coffee ke pelanggan ritel. Ia bahkan menyebut omzet dari pasar ritel tersebut mencapai Rp 120-130 juta dan 60% penjualannya berasal dari online.
"(Sudah buka di) Tokopedia tiga tahun yang lalu, kita termasuk pengguna awal Tokopedia dari Semarang yang jual kopi. Karena kita lihat platform digital nih sangat membantu, kita nggak perlu lagi merekap penjualan. Mereka udah bantu, dari sisi tracking resi udah bantu kita, banyak keunggulan sih. Dulu banyak (yang beli lewat medsos atau WA) tapi sekarang kita arahkan ke Tokopedia," ujarnya.
Lebih lanjut Fritz menjelaskan bahwa platform teknologi sangat membantu bisnis seperti Panna Coffee. Sebab mereka biasanya memberi berbagai promo, seperti free ongkir, voucher promo, hingga promosi toko. Ia pun menyarankan UMKM lagi yang menggunakan platform teknologi, agar mengubah packaging produk yang lebih menarik dan memberi edukasi ke pelanggan sehingga ada kepercayaan dari konsumen.
"Saran kita di packaging, dari packaging itu dapat trust. Misal kita sama-sama jualan kacang, kacang kita lebih enak, karena kita packaging sama edukasinya nggak nyampe, tetap orang nggak ada trust. Makanya edukasi produk sama kemasan itu bantu banget untuk marketing, meningkatkan trust yang beli, karena makanan kan langsung dikonsumsi, kalau sumbernya nggak jelas orang nggak mau," pungkasnya.
Visi yang sama juga ada pada Revolt Industry, bisnis yang bergerak di bidang kriya tangan berbahan kulit Sapi asal Surabaya. Jika Panna Coffee ingin mengenalkan cita rasa kopi Indonesia maka Revolt Industry ingin menunjukkan bahwa untuk mendapat produk bagus seperti aksesoris tidak perlu ke mal.
"Kita bikin brand Revolt Industry, sesuai namanya revolt, perlawanan, industry dari industries sesuatu tiada henti, jadi perlawanan tiada henti. Setiap orang punya perlawanan sendiri-sendiri, misalnya menang di kondisi sulit itu bentuk perlawanan diri sendiri. Beli barang bagus ga meski di mal, barang lokal juga bagus. Itu perlawanan yang ingin kami lakukan," ujar salah satu pemilik Revolt Industry, Agung D Kurnianto.
Revolt Industry didirikan oleh Agung dan empat kawannya sejak tahun 2014. Kelimanya memulai bisnis membuat aksesoris berbahan kulit tersebut hanya dengan modal YouTube dan menyewa garasi sebagai tempat produksi. Sejak awal berdiri, Revolt Industry sudah memanfaatkan media sosial dalam pemasarannya.
"Awal mula ketika launching pertama, kita lewat sosial media, yaitu Instagram. Kita juga bikin masukin ke e-commerce Tokopedia waktu itu. Pas launching banyak yang suka, di-support teman dan keluarga, salah satu pemacu semangat kami bikin barang kami," ujarnya.
"Di awal lahir di 23 Mei 2014 kita launching, di Desember 2014 rumah yang kita sewa kebakaran. Workshop, tempat kantor, yang Rp 500 ribu per bulan kita sewa itu habis dilalap api 15 menit, (gegara) konslet listrik. Vakum 2 bulan, kita akhirnya nyewa rumah," ujarnya.
Menurut Agung, dukungan dari pelanggan membuat semangat Revolt Industry semakin serius usai bencana yang dialaminya. Revolt Industry bahkan terus merekrut orang untuk menjadi pegawai yang saat ini berjumlah hingga 38 orang. Ini dilakukan karena permintaan produknya juga semakin meningkat. Selanjutnya bencana itu datang lagi dalam bentuk pandemi COVID-19 yang juga menurunkan omzet Revolt Industry.
"Kalau Revolt ini 7 tahun sebelum pandemi belum punya toko, tapi kami masukin ke toko-toko, ada di Jakarta, di Malaysia, ada di US, ada di Jepang juga. Nah kena pandemi ini namanya ritel, omzetnya drop 80%," ujarnya.
Agung menyebut mengakali pandemi itu dengan membuat campaign di media sosial hingga e-commerce yang berisi ajakan untuk membeli produk lokal. Tak lupa ia juga membuat diskon agar operasional Revolt Industry tetap berjalan, meski tak mengambil untung.
"(Campaign itu) nggak cukup juga. Supaya kita memulangkan 38 keluarga Revolt Industry, kita buka toko di masa pandemi, pas Desember tahun kemarin. Banyak yang bilang gila mas. Kamu pandemi malah buka toko, gila yah. Di situ kita malah, istilahnya, bertahan yang paling baik adalah menyerang. Yah karena nggak ada yang bisa kita lakukan kan, pantang menyerah itu," ujarnya.
Lebih lanjut Agung menjelaskan pandemi juga membuat pihaknya terus berinovasi dengan produk-produk baru. Ia juga bercerita selalu membagikan tentang produknya di media sosial dan mengarahkan penjualan ke Tokopedia.
"Tetap media sosial untuk media sharing our value yang mana mengarahkan penjualan ke media penjualan yang kami punya ada e-commerce Tokopedia. Kalau di Indonesia paling banyak dari Jakarta, Surabaya, Batam, Bali, Semarang. Kadang ada program bebas ongkir dan cashback itu sangat terbantu. Kita kan base-nya jualan online, ecommerce paling tinggi Tokopedia, selain website dan media sosial," ujarnya.
Lebih lanjut ia menyarankan untuk UMKM lain yang merambah platform digital agar tidak berpikiran jualan online seperti buka warung. Menurutnya, harus ada digital marketing yang pas untuk menarik pelanggan. Selain itu dibutuhkan konsistensi nilai dari produk yang ditawarkan.
"Yang selalu Revolt lakuin itu platform digital itu jangan kaya buka warung, ketika buka warung selesai kita nungguin customer datang, itu sama kaya mental buka warung. Selain digital marketing, buka e-commerce, kita juga harus share di media sosial tentang value yang kita punya, tetap konsisten dengan produk kualitas bagus, share value yang brand yang kita punya," ujarnya.
"Kuncinya tetap konsisten, karena ada beberapa brand karena pandemi menurunkan kualitas, alhasil keluar dari value atau visi misi brand-nya," pungkasnya.
Sumber : https://inet.detik.com/cyberlife/d-5583439/bertahan-lewat-platform-digital-ini-kisah-umkm-jualan-di-tokopedia/2
0 comments:
Post a Comment