Tantangan Revolusi 10 Juta Pekerjaan Baru
Kemunculan industri 4.0 mengancam keberadaan manusia dalam hal pekerjaan, di tengah rendahnya kualitas pendidikan dan persaingan global. Mempersiapkan SDM unggul Indonesia menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah.
Saat ini dunia tengah merayakan kemunculan teknologi baru yang disebut revolusi industri 4.0. Kemunculan industri 4.0 ini digadang-gadang membawa kemudahan bagi dunia khususnya bidang industri. Otomatisasi yang ditawarkan bukan hanya menjanjikan tingginya produktivitas, melainkan adanya integrasi yang mampu menjangkau jarak jauh.
Menurut Klaus Schwab, ekonom Jerman yang turut mempopulerkan revolusi industri 4.0, mengatakan bahwa kata “revolusi” menunjukkan perubahan yang tiba-tiba. Perubahan ini juga radikal. Revolusi industri telah terjadi sepanjang sejarah. Revolusi terjadi ketika teknologi dan cara baru memahami dunia, memicu perubahan besar sistem ekonomi dan struktur sosial.
Sebenarnya kemunculan teknologi bukanlah hal yang baru di dunia. Perjalanan teknologi dimulai sejak abad ke-18 dengan kemunculan mesin uap yang dikenal dengan istilah industri 1.0. Mesin uap digunakan untuk mempermudah pekerjaan manusia dan terbukti lebih produktif.
Bukan hanya meringankan pekerjaan manusia, produktivitas semakin meningkat setelah dunia memasuki revolusi industri kedua (2.0). Periode ini ditandai dengan penemuan tenaga listrik yang mampu memproduksi barang secara massal.
Kemajuan terus berlanjut dengan hadirnya revolusi industri ketiga (3.0) yang ditandai dengan kemudahan informasi karena dukungan komputerisasi. Teknologi digital mempermudah manusia, misalnya dalam hal penyimpanan dokumen, termasuk juga dalam hal kemudahan informasi.
Saat ini, dunia sedang merayakan kecanggihan yang mengagumkan, dikenal dengan sebutan industri 4.0. Berbagai kemudahan yang ada sebelumnya, makin dipermudah dengan adanya integrasi antara komputerisasi, manusia dan data. Saat ini, teknologi mampu menjangkau seluruh dunia sehingga mengaburkan batas dan jarak yang ada.
Dampak Teknologi
Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi saat ini memang tak terbantahkan. Sebagai gambaran, hanya dengan duduk di rumah, kita bisa membeli tiket pesawat untuk ke luar kota, memesan makanan, dan membeli barang secara daring dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, tanpa harus datang langsung ke tempat penyedia. Belum lagi segudang kemudahan lainnya.
Teknologi ini telah memanjakan manusia dengan berbagai layanan yang ditawarkan, sehingga semakin efisien dan produktif. Sebuah analisis yang dilakukan oleh McKinsey memperoleh hasil terjadi beberapa penghematan waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan beberpa pekerjaan.
Pengumpulan data, misalnya. Sebelum otomatisasi, dibutuhkan waktu 12,1 jam untuk mengerjakannya. Namun, ketika terjadi otomatisasi, dapat menghemat 1,2 jam dalam proses pengerjaannya.
Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa kemunculan teknologi yang mempermudah manusia juga tidak sedikit yang menggeser peran manusia. Kekhawatiran ini muncul sejak teknologi semakin masif. Semua pekerjaan yang dilakukan oleh teknologi telah membatasi manusia dalam mengakses pekerjaan.
Dilema ini sudah diungkapkan oleh ekonom John Maynard Keynes satu abad lalu. Keynes memperingatkan bahwa penggunaan teknologi akan berujung pada masalah tenaga kerja yang sulit mencari pekerjaan sebagai dampak otomatisasi.
Tantangan hilangnya pekerjaan akibat otomatisasi akan dialami oleh semua negara yang ikut merayakan revolusi industri 4.0. Masih mengacu penelitian McKinsey, 70 persen pekerjaan yang dapat diprediksi dapat digantikan oleh otomatisasi.
Di Indonesia, 23 juta posisi pekerjaan di Indonesia dapat digantikan oleh proses otomatisasi. Beberapa jenis pekerjaan yang masuk di dalamnya adalah pengumpulan dan pemrosesan data serta pekerjaan fisik manual lainnya.
Salah satu contohnya adalah pekerja di bidang penjualan tiket perjalanan, pesawat misalnya. Dengan kemudahan pembelian tiket secara online saat ini, sedikit banyak telah mengurangi kesempatan kerja.
Saat ini Indonesia memang tengah mengalami penurunan angka pengangguran. Data BPS menunjukkan bahwa angka penganggruan tahun 2018 turun sebesar 0,56 persen dari tahun sebelumnya (sekitar 7,04 juta orang) menjadi sekitar 7 juta orang.
Hal ini dibarengi dengan meningkatnya penduduk bekerja yang meningkat 2,46 persen dari tahun sebelumnya. Namun, jika dirunut, pertumbuhan penduduk bekerja di Indonesia mengalami fluktuasi. Bahkan, trennya cenderung menurun selama satu dekade belakangan.
Keadaan ini diimbangi dengan pertumbuhan pengangguran yang cenderung meningkat pada periode yang sama. Boleh jadi, situasi ini sebagai salah satu dampak adanya lompatan teknologi yang mengambil alih sejumlah pekerjaan.
Belum lagi, Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Mengacu pada definisinya, bonus demografi adalah kondisi di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan kelompok umur lainnya (0-14 tahun dan usia 65 tahun ke atas).
Pada dasarnya, dengan lebih banyaknya penduduk usia produktif, maka akan benyak keuntungan yang didapat karena tingginya produktivitas. Namun, di sisi lain, kondisi ini juga menjadi tantangan bagi Indonesia di tengah disrupsi teknologi yang terjadi.
Dalam sebuah diskusi panel membahas Indonesia 2045 yang diadakan oleh Kompas pekan lalu, Turro Wongkaren, Kepala Lembaga Demografi FEB UI mengatakan bahwa prediksi terbaru terkait puncak bonus demografi Indonesia terjadi pada tahun 2020-2024. Sebelumnya diprediksi bahwa puncak bonus demografi terjadi pada tahun 2030. Artinya, puncak bonus demografi di Indonesia berbarengan dengan masa jaya teknologi saat ini.
Persaingan Tenaga Kerja
Kemunculan teknologi tidak hanya melulu soal hilangnya pekerjaan karena adanya otomatisasi. Menurut McKinsey, 27 juta hingga 46 juta lapangan kerja baru dapat diciptakan. Sekitar 10 juta di antaranya, belum pernah ada sebelumnya. Beberapa jenis pekerjaan yang akan tetap bertahan pada masa otomatisasi antara lain manajemen, industri kreatif, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan konstruksi.
Beberapa bidang pekerjaan tersebut sekalipun didukung oleh kemajuan teknologi, masih belum sepenuhnya dapat dikerjakan oleh teknologi. Dibutuhkan keahlian khusus yang tidak bisa diotomatisasi. Manajemen sebuah perusahaan, misalnya.
Dalam pekerjaan pendukung hariannya dibantu oleh terknologi dalam pemrosesan data. Namun, keberlanjutan perusahaan membutuhkan juga sumber daya manusia dengan keahlian penyelesaian masalah (problem solving) untuk mengatasi permasalahan yang muncul, misalnya dengan klien. Keahlian lain yang akan banyak diminati pada masa otomatisasi adalah keahlian kognitif dan keahlian sistem.
Kendati demikian, hal ini menjadi tantangan baru bagi Indonesia. Dengan kemajuan teknologi, menuntut tingginya skill yang dimiliki tenaga kerja Indonesia. Sementara, ketika melihat profil tenaga kerja di Indonesia, masih banyak tenaga kerja Indonesia dengan latar belakang pendidikan yang tergolong rendah.
Data Badan Pusat Stastistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari separuh tenaga kerja di Indonesia (58,77 persen) memiliki latar belakang pendidikan tidak sekolah hingga SMP. Bahkan sepersepuluh dari lulusan universitas masih menjadi pengangguran.
Tantangan lain bagi tenaga kerja Indonesia adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN atau biasa disebut dengan MEA. MEA merupakan sebuah proses integrasi kawasan yang bertujuan mencapai stabilitas, perdamaian, dan kesejahteraan bersama-sama negara anggota ASEAN. Dalam konsep MEA, akan terjadi pertukaran tenaga kerja antar negara anggota ASEAN.
Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, Indonesia masih berada di bawah negara-negara anggota ASEAN lainnya. Merujuk pada publikasi World Economic Forum 2018, daya saing Indonesia berada pada urutan ke-4 setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Terdapat 12 bidang dalam penilaian tersebut, diantaranya adalah: institusi, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar. Bidang penilaian lain adalah pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar kerja, perkembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, besarnya pasar dan business sophistication serta inovasi.
Menjadi negara yang paling unggul di ASEAN, Singapura telah menetapkan The Future Economy Council (FEC) yang bertujuan untuk mendukung transformasi dan pengembangan Singapura dalam revolusi industri 4.0. Melalui FEC tersebut, Singapura telah membuat Skill Future yang dimaksudkan untuk mempersiapkan sumber daya manusia dalam menghadapi revolusi industri 4.0.
Jika dilihat secara khusus kondisi sumber daya manusia melalui Indeks Pembagunan Manusia (IPM), Indonesia justru masuk pada urutan ke-6 jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Hal ini menuntut kesungguhan pemerintah dalam mempersiapkan tenaga kerja Indonesia menjadi SDM unggul yang mampu bersaing dengan teknologi dan tenaga kerja lintas negara. (Litbang Kompas)
0 comments:
Post a Comment